Halaman

Selasa, 13 April 2010

PEMIMPIN SEJATI

Dalam suatu lamunan, tiba-tiba saya teringat satu pengalaman pribadi di sebuah sekolah.

Seorang anak laki-laki ditanya oleh orangtuanya, “Nak, Nanti kalau kamu sudah besar ingin jadi apa?” Si anak balita itu dengan sangat percaya diri spontan menjawab, “Mau jadi plesiden!” katanya dengan suara dan pengejaan yang masih sangat khas anak-anak. Sementara anak yang lain lagi menjawab ingin jadi jenderal ketika ditanya dengan pertanyaan serupa. Yang lain lagi ingin jadi menteri, polisi, tentara, dokter, insinyur, guru, pengacara, hakim, jaksa, direktur bank, dll. Semua anak ingin menjadi “orang hebat” atau “orang penting” dengan kata lain, mereka kelak ingin menjadi “bos” alias pemimpin. Tentu saja, para pengajar, pembina, dan orang tua siswa amat bangga dengan cita-cita anak-anak didik yang ceria itu.

Tiba-tiba muncul dalam benak saya,mengapa tidak seorangpun anak yang melontarkan jawaban ‘nyleneh’. Misal, jika besar nanti aku ingin jadi pelayan. Atau mungkin,ingin jadi sopir bus,atau lebih konkrit lagi,atau ingin seperti orang tuanya atau tetangganya yang menjadi TKI diluar negeri. Bukankah lebih dari setengah juta warga negara Indonesia menjadi TKI, itu cukup menjadi daya pikat bagi anak? Ditambah lagi para TKI itu mendapat julukan terpuji sebagai pahlawan devisa bagi negara? Atau barangkali, ingin jadi "bi Iyem" atau "mang Ijo" sebutan pembantu dirumah, Bukankah mereka menjalankan pekerjaan yang mulia dan halal?

Apa yang salah dengan cita-cita menjadi pelayan sehingga tak satu pun anak-anak (kota) bercita-cita ingin jadi pembantu?

Selama ini ada pencitraan yang suram dan keliru tentang pekerjaan sebagai pelayan alias pembantu, Di negeri ini, menjadi pelayan atau pembantu identik dengan menjadi babu. Pembantu alias babu di negeri ini kebanyakan dimaknai sebagai budak. Kasta yang sering dianggap rendah oleh sebagian masyarakat. Pembantu nyaris tak punya hak kekuasaan apa pun. Bahkan, dalam konteks pembantu rumah tangga (PRT), kondisi ini begitu nyata.

Di negara-negara maju dan beradab pembantu dibayar mahal. Tak sembarang keluarga bisa mempunyai pembantu, apalagi bila secara ekonomi pendapatan rumah tangga tak memungkinkan. Karena tak mampu membayar PRT. Pelayan-pelayan restoran pun dibayar mahal meski hanya bekerja paruh waktu. Mereka dibayar sebagai orang yang punya keahlian, bukan sebagai babu alias budak. Para pelayan pun dihargai secara profesional dengan tugas, aturan, dan jam kerja yang jelas.

Di negeri ini profesi PRT dianggap rendah, namun demikian selalu dibutuhkan. Hampir tak ada negosiasi untuk gaji PRT, seolah sudah ada patokan baku. Siapa pun tahu, PRT di sini mengerjakan apa saja secara simultan, dari A sampai Z. Mulai dari mengurusi anak, belanja, masak, menyediakan minuman dan makanan, bersih-bersih rumah, cuci pakaian, setrika, cuci mobil, hingga kadang kerokan jika majikan masuk angin. Bahkan, membeli obat flu di warung pun menyuruh pembantu. Begitu besarnya peran PRT dalam urusan keluarga, maka ketika musim PRT mudik meski hanya beberapa hari, banyak majikan kelimpungan. Ternyata kerja menjadi pelayan sangat tidak mudah! Jadi, masihkah menganggap rendah profesi pembantu?

Ada nilai spiritual yang tinggi namun tak terkatakan di balik pekerjaan sebagai pelayan. Hakekat kerja pembantu adalah melayani majikan. Meski diupah, jika tak ada spirit dari dalam diri untuk membantu atau melayani – pelayanan itu menjadi hambar. Nilai tertinggi aksi ‘melayani’ yang tak terkatakan itulah yang selalu dilupakan orang. Karena aksi melayani itulah, banyak tokoh besar dunia menjadi sangat bersejarah dan namanya selalu dikenang abadi sepanjang masa. Sebut saja Ibu Theresa, Nelson Mandela, para penemu dan ilmuwan, para pemenang Nobel, tokoh-tokoh agama dan kemanusiaan, dll. Mereka mengabdikan dirinya untuk melayani sesama dalam berbagai bidang keahlian masing-masing,dengan sukarela dan keiklasan dan takpernah ada keluhan sedikitpun terucap dari mulutnya.

Pemimpin sejati sebenarnya adalah pelayan. Tugas utama seorang pemimpin sesungguhnya adalah melayani bukan dilayani. Kebanyakan orang bercita-cita menjadi bos, agar ia bisa dilayani. Hampir tak pernah ada, seseorang yang bercita-cita secara tulus menjadi pemimpin agar ia bisa melayani orang lain. Saya amat terkesan dengan salah satu ajaran bijak Sang Filsuf sejati Isa Almasih, “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaknya ia menjadi pelayanmu.” Ajaran kebijaksanaan ini telah terbukti dan menginspirasi banyak tokoh besar dunia.

Ajaran spiritual tentang ‘pemimpin adalah pelayan’ juga ada di tanah Tiongkok. Ajaran kebijaksanaan itu tertulis dalam buku Dao De Jing yang ditulis filsuf Tiongkok kuno Lao Zi (2.500 tahun silam). Lao Zi mengelompokkan pemimpin dalam empat kategori.

Pertama, pemimpin yang memiliki kualitas tertinggi adalah ia yang tidak mengaitkan urusan pribadi dengan pekerjaan dan jabatannya. Menurut Lao Zi, seorang pemimpin tak layak menonjolkan diri, apalagi memamerkan jasa-jasanya kepada publik yang dipimpinnya. Justru jauh lebih baik, bila rakyat tak pernah tahu bahwa kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa-negara sebenarnya adalah berkat kerja kerasnya. Pemimpin yang berkualitas tinggi tak suka obral janji, kata-katanya selalu ditepati. Tak pernah ada keraguan untuk membela rakyat dan anak buahnya untuk kebaikan bersama, apalagi demi keadilan. Dengan demikian, rakyat tak perlu melontarkan puja puji karena tahu persis memang seperti itulah seharusnya tanggung jawab pemimpin. Itulah pemimpin sejati.

Kedua, Lao Zi melihat ada pemimpin yang berperilaku suka menonjolkan diri, menunjukkan bahwa dirinya telah berjasa dan banyak bekerja untuk rakyat. Juga suka menunjukkan bahwa dirinya telah berbuat adil sehingga mendapatkan puja puji dari rakyat. Kualitas pemimpin yang bekerja demi pamrih seperti ini, tidak layak menjadi pemimpin.

Ketiga, pemimpin yang suka membuat rakyat takut. Menurut Lao Zi, pemimpin seperti ini dihormati dan disegani bukan karena pengabdian, kebaikan, keadilan, dan ketulusannya tapi karena ia memerintah dengan tangan besi. Biasanya, pemimpin otoriter seperti ini gemar mengeluarkan banyak undang-undang dan peraturan. Tujuannya bukan untuk kebaikan bersama, tapi demi membatasi gerak kebebasan rakyat. Ujung-ujungnya, untuk melanggengkan kekuasaan pribadi. Lao Zi mengatakan, makin banyak peraturan menunjukkan banyaknya persoalan yang tak beres. Sebaliknya, sedikit peraturan menunjukkan kondisi negeri itu tertib.

Keempat, Lao Zi menulis tentang kualitas pemimpin yang paling buruk. Pemimpin yang sudah tidak dipercayai, dicerca, dan ditentang oleh rakyatnya sendiri, karena hidupnya mencampuradukkan urusan pribadi dengan jabatan pekerjaannya, hidupnya bermewah-mewah dari hasil korupsi sementara rakyatnya hidup susah. Pemimpin yang seperti ini, suka menonjolkan diri, selalu merasa berjasa, dan otoriter ada sampai sekarang. Pemimpin seperti ini tak peduli terhadap kondisi rakyatnya yang miskin dan bodoh.

Kesadaran untuk melayani orang lain dengan semangat kejujuran dan ketulusan tanpa pamrih apa pun hingga menjadi kebiasaan yang otomatis, tidak datang tiba-tiba. Semangat untuk melayani harus ditanamkan sejak dini. Banyak slogan simpatik yang berbicara ’siap melayani Anda’ atau ‘polisi pelayan masyarakat’ dsb., tapi semuanya masih berhenti di bibir saja. Amat jauh dari kenyataan. Mestinya para pemimpin negeri ini bisa mulai memberikan contoh dan teladan melayani publik secara konkrit. Bukan hanya ketika kampanye saja. Tapi itu semua masih menjadi mimpi di tengah hari bolong.

Aku selalu memimpikan adanya pelayanan yang tulus tanpa pamrih di negeri ini. Tentu saja disertai dengan senyum yang ramah siap melayani siapa pun yang membutuhkan bantuan. Kapan ya? Ada yang bisa saya bantu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar